Mbah Mutamakkin Kajen Pati Menolak Tahta Demi Ilmu
Umar Hanafi
Selasa, 5 April 2022 14:27:18
MURIANEWS, Pati – Nama Mbah
Mutamakkin tentunya taka sing bagi umat muslim di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Namanya melegenda di Pati hingga luar
Pati.
Pemerhati budaya, Muhammad Farid Abbad, menuturkan, Mbah Mutamakkin bernama lengkap Ahmad Mutamakkin. Ia merupakan asli Tuban, Jawa Timur, putra Bupati Sumohadinegoro.
Mbah Mutamakkin masih mempunyai darah biru atau darah ningrat dari Keraton Mataram. Tetapi kedudukan ayahnya dan statusnya sebagai keturunan ningrat tak membuatnya jemawa.
Baca juga: Bikin Betah, Begini Asyiknya Berburu Makanan Tradisional Kampoeng Ramadhan Kajen PatiGus Farid, sapaan Muhammad Farid Abbad menceritakan, saat masih muda, Mbah Mutamakkin ditanya oleh ayahnya, memilih keraton (kedudukan) dunia atau keraton akhirat.
Ketika itu, Mutamakkin muda lebih memilih Keraton akhirat. Pilihan ini membuatnya mendalami ilmu agama hingga ke timur tengah.
[caption id="attachment_282605" align="alignleft" width="1280"]

Makam Ahmad Mutamakkin, Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. (MURIANEWS/Umar Hanafi)[/caption]
“(Awalnya) beliau mencari ilmu di kawasan Jawa Timur. Sampai kemudian, beliau mencari ilmu ke Yaman. Beliau berguru kepada ulama besar di sana, yakni Syaikh Muhammad Zayn Al Mizjaji,” ujar Gus Farid.
Selain ke Yaman, Mbah
Mutamakkin juga menimba ilmu di Makkah sekaligus menunaikan ibadah haji.
Setelah itu, ia berencana pulang ke kampung halamannya. Namun sayangnya, ia tidak benar-benar pulang ke kampung halamannya.
“Di perjalanan beliau dijatuhkan (ke laut) muridnya yang bangsa Jin. Lalu, beliau diselamatkan ikan meladang. Kisah ini diyakini masyarakat sekitar,” lanjut Gus Farid yang juga salah satu pengasuh Pondok Pesantren Ar-Raudloh, Kajen, Margoyoso, Pati.
Ikan itu akhirnya mengantarkannya ke suatu tempat yang sekarang masuk Kecamatan Margoyoso, Kabupaten
Pati. Tempat ini akhirnya bernama Desa Cebolek.
“(yang berasal dari kata) Cebol-cebol melek,” kata Gus Farid.Setelah dari tempat itu, beliau melihat cahaya bersinar terang. Dihampirilah cahaya itu hingga sampai di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso.Di desa itu, ia bertemu Syamsuddin yang sudah berdakwah terlebih dahulu di sana. Ia pun berguru kepada Syamsuddin dan menikahi putrinya.Mbah Mutamakkin kemudian melanjutkan dakwah mertuanya. Hingga saat ini berdirilah puluhan pesantren di Desa Kajen dan menjadi pusat ilmu agama di Kabupaten
Pati.Bahkan, majunya Desa Kejen dan munculnya tokoh-tokoh ulama yang dikenal hingga mancanegara merupakan salah satu jasa dan peninggalan Mbah Mutamakkin.“Para sejarawan sepakat tentang hal ini. Beliau menjadi orang yang membabat alas setelah Mbah Syamsuddin,” ujar Gus kelahiran 1991 itu.“Dari sini berdirilah pesantren, madrasah bahkan hampir seluruh lembaga-lembaga pendidikan agama di Kajen tidak lepas dari faktor gen dan sanad Mbah Mutamakkin,” tambahnya.Selain menyebarkan ilmu, kata Gus Farid, Mbah Mutamakkin juga menjadi pelopor penulis kitab. Ini dilanjutkan generasi setelahnya seperti Prof. KH Muhammad Sahal Mahfud yang punya 10 hingga 11 kitab, Kiai Abdullah Rifai punya lima kitab dan banyak ulama-ulama seterusnya.Gus Farid mengatakan, pilihan Mbah Mutamakkin memilih kedudukan akhirat, mengantarkannya menjadi tokoh yang dikenal dan dikenang hingga saat ini. Jasa-jasanya membuat generasi seterusnya meneladani kisah beliau.“Jadi Mbah
Mutamakkin mewariskan keilmuannya yang menjadi kiblat pengetahuan, menjadi kiblat peradaban. Ilmu dan kaderisasi para ulama para Kiai yang menjadi estafet para kiai-kiai Kajen,” tandas Gus Farid. Reporter: Umar HanafiEditor: Zukifli Fahmi
[caption id="attachment_282604" align="alignleft" width="1280"]

Makam Ahmad Mutamakkin, Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. (MURIANEWS/Umar Hanafi)[/caption]
MURIANEWS, Pati – Nama Mbah
Mutamakkin tentunya taka sing bagi umat muslim di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Namanya melegenda di Pati hingga luar
Pati.
Pemerhati budaya, Muhammad Farid Abbad, menuturkan, Mbah Mutamakkin bernama lengkap Ahmad Mutamakkin. Ia merupakan asli Tuban, Jawa Timur, putra Bupati Sumohadinegoro.
Mbah Mutamakkin masih mempunyai darah biru atau darah ningrat dari Keraton Mataram. Tetapi kedudukan ayahnya dan statusnya sebagai keturunan ningrat tak membuatnya jemawa.
Baca juga: Bikin Betah, Begini Asyiknya Berburu Makanan Tradisional Kampoeng Ramadhan Kajen Pati
Gus Farid, sapaan Muhammad Farid Abbad menceritakan, saat masih muda, Mbah Mutamakkin ditanya oleh ayahnya, memilih keraton (kedudukan) dunia atau keraton akhirat.
Ketika itu, Mutamakkin muda lebih memilih Keraton akhirat. Pilihan ini membuatnya mendalami ilmu agama hingga ke timur tengah.
[caption id="attachment_282605" align="alignleft" width="1280"]

Makam Ahmad Mutamakkin, Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. (MURIANEWS/Umar Hanafi)[/caption]
“(Awalnya) beliau mencari ilmu di kawasan Jawa Timur. Sampai kemudian, beliau mencari ilmu ke Yaman. Beliau berguru kepada ulama besar di sana, yakni Syaikh Muhammad Zayn Al Mizjaji,” ujar Gus Farid.
Selain ke Yaman, Mbah
Mutamakkin juga menimba ilmu di Makkah sekaligus menunaikan ibadah haji.
Setelah itu, ia berencana pulang ke kampung halamannya. Namun sayangnya, ia tidak benar-benar pulang ke kampung halamannya.
“Di perjalanan beliau dijatuhkan (ke laut) muridnya yang bangsa Jin. Lalu, beliau diselamatkan ikan meladang. Kisah ini diyakini masyarakat sekitar,” lanjut Gus Farid yang juga salah satu pengasuh Pondok Pesantren Ar-Raudloh, Kajen, Margoyoso, Pati.
Ikan itu akhirnya mengantarkannya ke suatu tempat yang sekarang masuk Kecamatan Margoyoso, Kabupaten
Pati. Tempat ini akhirnya bernama Desa Cebolek.
“(yang berasal dari kata) Cebol-cebol melek,” kata Gus Farid.
Setelah dari tempat itu, beliau melihat cahaya bersinar terang. Dihampirilah cahaya itu hingga sampai di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso.
Di desa itu, ia bertemu Syamsuddin yang sudah berdakwah terlebih dahulu di sana. Ia pun berguru kepada Syamsuddin dan menikahi putrinya.
Mbah Mutamakkin kemudian melanjutkan dakwah mertuanya. Hingga saat ini berdirilah puluhan pesantren di Desa Kajen dan menjadi pusat ilmu agama di Kabupaten
Pati.
Bahkan, majunya Desa Kejen dan munculnya tokoh-tokoh ulama yang dikenal hingga mancanegara merupakan salah satu jasa dan peninggalan Mbah Mutamakkin.
“Para sejarawan sepakat tentang hal ini. Beliau menjadi orang yang membabat alas setelah Mbah Syamsuddin,” ujar Gus kelahiran 1991 itu.
“Dari sini berdirilah pesantren, madrasah bahkan hampir seluruh lembaga-lembaga pendidikan agama di Kajen tidak lepas dari faktor gen dan sanad Mbah Mutamakkin,” tambahnya.
Selain menyebarkan ilmu, kata Gus Farid, Mbah Mutamakkin juga menjadi pelopor penulis kitab. Ini dilanjutkan generasi setelahnya seperti Prof. KH Muhammad Sahal Mahfud yang punya 10 hingga 11 kitab, Kiai Abdullah Rifai punya lima kitab dan banyak ulama-ulama seterusnya.
Gus Farid mengatakan, pilihan Mbah Mutamakkin memilih kedudukan akhirat, mengantarkannya menjadi tokoh yang dikenal dan dikenang hingga saat ini. Jasa-jasanya membuat generasi seterusnya meneladani kisah beliau.
“Jadi Mbah
Mutamakkin mewariskan keilmuannya yang menjadi kiblat pengetahuan, menjadi kiblat peradaban. Ilmu dan kaderisasi para ulama para Kiai yang menjadi estafet para kiai-kiai Kajen,” tandas Gus Farid.
Reporter: Umar Hanafi
Editor: Zukifli Fahmi